“Kyaaaa!!”
teriakan melengking yang berasal dari aku sendiri –yang akhirnya membahana ke seluruh
taman sekolah, aku menutup wajahku
rapat-rapat. Berusaha menyingkir sejauh mungkin dari benda menjijikkan yang
dilemparkan ke arahku barusan. Melihat bentuknya saja aku sudah bisa menebak
meskipun dari jauh. CICAK! Iyaks menjijikkan sekali! Aku benci sekali hewan
menggelikan itu.
Sementara
itu di sisi lain, sudut mataku menaangkap seorang anak laki-laki tengah tertawa
terpingkal-pingkal. Berkali-kali ia memegang perutnya yang sakit karena
tawanya. Setelah ia bisa mengontrol itu semua ia pun meloncat keluar dari
tempat persembunyiannya dengan senyum jahil yang menempel di wajahnya tentunya.
“Hahahahaha!”
Aku
Yuri, Shin Yuri akhirnya membuka kedua telapak tanganku yang menutupi hampir
seluruh wajah. Aku bisa menebak semerah apa wajahku sekarang karena kesal.
Sekali hentak kini aku sudah berada tepat di hadapan Jinsan yang masih sibuk menertawaiku.
Apa yang lucu? Menurutku itu sama sekali tidak lucu. Bisa-bisanya cowok gila
itu menertawaiku sampai sebegitunya.
“Yaaa
babbo!” aku memekik setengah
menjerit. Sekarang aku sudah mengejar Jinsan
yang berlari mendahuluiku karena mungkin tahu gerak-gerikku yang mencurigakan.
Jinsan terus berlari sambil sesekali membalikkan badannya demi melihatku yang
tertinggal jauh di belakang. Selama mengejarnya aku tahu aku tidak akan bisa
mendahului anak laki-laki itu tapi entah kenapa aku merasa tidak puas jika harus berdiam diri saja
setelah diriku dikerjai habis-habisan olehnya!
“Lihat
saja jika kena kau tidak akan kuampuni kau Park Jinsan!” geramku, membuat
beberapa siswa-siswi sekolah SMA Cheongdam melihati kami berdua yang masih
terus berkejaran. Aku tidak peduli lagi pada peluh yang kini mengalir deras di dahiku,
juga poniku yang melambai-lambai tertiup angin. Aku yakin rambutku sudah sama
berantakannya sekarang dengan perasaanku yang sama kacaunya. Cowok bodoh itu
harus segera diberi pelajaran!
“Kau
bodoh. Sudah tahu kau larinya tidak cepat. Kenapa masih terus mengejar?” teriak
Jinsan tak kalah keras.
“Ah!”
tiba-tiba kakiku terantuk batu yang mencuat dari dalam pasir. Sama sekali tidak
memperhatikan sekitarku. Aku mengelus kakiku yang yang malang, merintih kecil
karena rasanya sedikit perih. Dengan sebelah tangan aku membersihkan lukaku dengan
rok. Tidak peduli rokku akan jadi kotor karenanya. Dari jauh beberapa meter dihadapanku aku
melihat Jinsan tengah memandangiku, wajahnya terlihat sedikit panic, kurasa.
Aku
sempat mengira dia akan menolongku karena kulihat ia melangkahkan kakinya ke
arahku, tapi ternyata memang cowok bodoh! Dia malah berbelok menuju koridor
sekolah, sama sekali tidak melihatku!
“Gwaenchana?” seru seseorang membuyarkan
lamunanku. Aku menoleh, mendapati sunbaeku
kini tengah berlari-lari kecil menghampiriku. Wajahnya terlihat cemas dan
khawatir. Tak terasa sudut bibirku terangkat sedikit. Jungwo Oppa.
“Anni, gwaenchana, Oppa.” Aku
mencoba tersenyum saat Jungwo membantuku berdiri, namja itu kini tengah
mengamati lukaku yang tidak terlalu lebar. Jungwo lalu mendongak memandangku
khawatir.
“Sakit
kah?” tanyanya lembut. Aku merasa bulir-bulir es mencair di atas kepalaku.
Sakit di kakiku pun entah kenapa menguap begitu saja.
Aku
menggeleng masih tersenyum, “ini hanya sedikit luka. Nanti juga sembuh.”
“Baiklah,
biar aku gendong saja bagaimana?” tawar Jungwo Oppa. Aku tersentak mendengar tawaran Jungwo Oppa lalu buru-buru menggeleng panik. “Tidak perlu, Oppa. Aku masih sanggup berjalan.” Aku
menunduk, menutupi perasaanku yang membuncah. Aku takut jika Jungwo Oppa sampai melihat rona merah di wajahku.
Aigooo! Aku norak sekali bukan.
Setelah mengumpulkan keberanianku aku memberanikan diri menatap Jungwo Oppa yang tengah tersenyum padaku. Untuk
kesekian kalinya aku merasa takjub dengan seulas senyum tampan itu. Ah,
sudahlah. Buru-buru aku menunduk lagi.
“Jika
kau tidak mau biar aku membantumu berjalan. Setelah ini kita obati lukamu agar
tidak semakin parah.” Jungwo Oppa membantu
memapahku, aku menurut saja selama itu tidak berlebihan. Selama perjalanan ke kelas
aku bisa mencium aroma khas Jungwo Oppa
yang sangat kusukai .
***
“Yak!
Namja babbo! Tiada hari kau tanpa menggangguku!” aku memukul-mukul hasil
karyaku yang baru selesai aku. Goresan wajah Jinsan yang tampak acak-acakan
kini sukses menjadi sasak tinju bagi tanganku yang sudah gatal ingin
menjambaknya. Aku benar-benar geram dengan kelakuan anak itu. Sejak tahun
ajaran baru –yang bahkan aku belum mengenalnya– Jinsan senang sekali berulah.
Aku
sampai berpikir salah apa diriku pada laki-laki itu hingga tidak bosan-bosan
setiap hari membuat tenggorokanku kering karena menjerit-jerit. Keterlaluan!
Aku
berkacak pinggang menatap cermin besar yang tergantung di kamarku. Menatap
wajahku sendiri, menatap kerutan di keningku yang membuatku akhirnya sadar
bahwa aku bisa saja menjadi gila jika terus-terusan meladeni keisengan Jinsan.
“Yuri-ya. Makan malam sudah siap,” aku
mendengar teriakan Eomma dari bawah.
“Aku
segera keluar.” Aku menjawab malas. Perutku sama sekali tidak merasa lapar. Tapi
Eomma pasti marah-marah jika aku
tidak makan masakan yang sudah susah payah dibuatkannya untukku. Sekali lagi akumenatap
cermin sambil mengepalkan tangan.
“Lihat
saja kau besok. Aku tidak akan tinggal diam sekarang,” aku menggumam tajam.
***
“Ya, Park Jinsan! Kau tidak mengerjakan
tugasmu lagi?” tegur Mrs. Lee. Kulihat Jinsan mengobrak-abrik tasnya berharap
buku yang semalam dikerjakannya kini ada di dalam tasnya tersebut. Mrs. Lee
menatap tajam. Satu buat penggaris rotan diketuk-ketukkannya di atas meja.
Wajah Jinsan sudah pucat pasi, sementara dari seberang sini tempatku duduk aku
tersenyum puas menatapnya. Baru kali ini aku melihatnya setakut itu. Biarlah
Jinsan merasa tertekan itu sudah membuat aku sedikit bangga untuk sementara
waktu.
Tiba-tiba
Jinsan menelengkan kepala kearah mejaku yang masih tersenyum-senyum
memperhatikannya.
“Ya
Yuri-ya. Pasti ini perbuatanmu
bukan?” tuduh Jinsan langsung tanpa aba-aba, lehernya bergerak cepat kearahku. Aku
tersentak mendengar teriakan Jinsan yang ditujukan kepadanya. Tidak sempat
mengelak aku pun membuat pembelaan.
“Enak
saja. Kau jangan asal tuduh begitu!” teriakku keki. Jangan sampai Mrs. Lee
tahu, jika tahu bisa-bisa hukumanku malah lebih berat dari Jinsan yang tidak
mengerjakan tugas.
Jinsan
berkacak pinggang dan melangkah ke mejaku, lalu tanpa aba-aba dia menggebrak
mejaku sampai-sampai bukuku yang ada di atas meja terpental. Kurang ajar! Ingin
sekali aku mencakar wajahnya yang sombong itu, tapi kutahan demi melihat Mrs.
Lee yang memperhatikan kami dari tempatnya berdiri.
“Ayo
mengakulah. Hukumanmu bisa diperingan Yuri-ya..,”
paksa Jinsan sambil tersenyum licik ke arahku.
“Shirreo. Aku tidak mau mengaku, bukan
aku yang melakukannya!” aku masih bertahan.
Jinsan
menghela nafas panjang. “Lalu kenapa kau senyum-senyum seperti tadi saat
melihatku dimarahi Mrs. Lee?” tanyanya masih belum puas.
Aku
mengerucutkan bibir kesal. Menahan agar jangan sampai kelepasan bicara.
“Mungkin
dia menyukaimu,” celetuk Ara.
“Hah?”
Aku dan Jinsan sama-sama berteriak bersama lalu memandang masing-masing setelah
itu baik aku dan Jinsan saling membuang muka. Tidak sudi! Batinku memberontak.
“Kau
jangan asal bicara!” teriakku dan Jinsan kesal pada Ara –yang hamper bersamaan.
Ara hanya mengedikkan bahunya tidak peduli.
“LALU?”
suara Mrs. Lee kembali menggelegar memenuhi seisi kelas. Jinsan kembali ke
tempat duduknya.
“Tidak
ada Miss. Yuri tidak mau mengaku. Padahal aku yakin bahwa dia yang menyembunyikan
bukuku!” Jinsan memandangku lagi. Mrs. Lee memukulkan penggaris yang dibawanya
ke kepala Jinsan.
“Jangan
menyalahkan orang seperti itu. Kau memang malas bukan? Jangan jadikan alasan.
Sekarang berdiri di depan kelas!” perintah Mrs. Lee tidak mau dibantah. Jinsan
menatap Mrs. Lee memohon.
“Cepat,”
sekali lagi Mrs. Lee berkata dingin. Akhirnya Jinsan melangkah malas keluar
kelas. Aku mendesah lega. Semuanya sudah berakhir. Bagaimana Jinsan bisa
melakukannya setiap hari kepadaku jika rasanya saja membuat jantung seakan mau
lepas dari rongganya?
***
“Huh!”
sebuah tarikan terasa begitu kuat mencengkeram rambutku yang biasa kukuncir
kuda. Aku memekik kesakitan. Ulah siapa lagi, sih?! Oh, bukan. Aku sudah tahu
jawabannya. Kejadian tadi pagi pasti menuntut tumbal.
“Kau
puas melihatku dimarahi seperti tadi?” todong Jinsan langsung.
“Kau
masih bersikeras menuduhku Park Jinsan?” aku berusaha melepaskan cekalan tangan
Jinsan dari rambutku yang semakin menguat. Tolong… ini sakit sekali! Jinsan
benar-benar kurang ajar!
“Lalu?
Kau mau mengaku? Sekarang pun jika kau mengaku kau tidak akan dihukum. Aku
sudah cukup lelah berdiri satu jam pelajaran di depan kelas.” Jinsan masih
kukuh pada intuisinya.
“Bukan
urusanku!” aku melengos meninggalkan Jinsan setelah mati-matian melepaskan
cekalan Jinsan yang tidak main-main. Kepalaku serasa berdenyut hebat karena ini
baru pertama kali ada seseorang yang menarik rambutku dengan paksa.
“Kau
tidak mau bertanggung jawab? Baiklah jika kau yang minta! Aku akan lakukan.”
Aku
terpaksa membalikkan badanku lagi demi meladeninya. “Aku sudah tidak takut
denganmu. Berhenti mengancam seperti itu anak kecil!” teriakku lalu menjulurkan
lidah sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan Jinsan.
***
Siang
ini aku sedang mengunyah roti buatan Eomma
dengan cepat. Hari ini kelas pulang pagi jadi tidak ada salahnya memakan bekal
lebih awal.
“Yuri-ya, kau dipanggil Mrs. Lee keruang
guru.” Ara mendatangi Yuri buru-buru. Aku merasa kesulitan menelan makananku
mendengar nama Mrs. Lee tersebut.
“Apa?”
tanyaku lagi berusaha biasa saja.
“Kau- dipanggil- Mrs. Lee- ke- ruang- guru.”
Ara sampai mengeja. Melihat perubahan pada wajahku yang mungkin terlihat
seperti orang sekarat, Ara segera memberikan minum untukku. Aku melesat keluar
kelas secepatnya sambil menelan makananku setelah sebelumnya memberikan roti
yang sepotong belum habis pada Ara.
“Gomawo Yuri-ya!” teriak Ara menatap roti yang kuberikan dengan mata berbinar.
***
Ya
ampun, ya ampun. Nyaris saja aku mati berdiri ketika masuk ruang guru tadi. Aku
pikir aksiku tadi pagi mengerjai Jinsan ketahuan, ternyata Mrs. Lee hanya
menyuruhku menulis di papan tulis kelas tentang pergantian jadwal piket mulai
minggu depan. Dikarenakan Mrs. Lee besok absen dua hari, jadi aku sebagai
sekretaris kelas diberi tugas memberitahu semua teman-teman satu kelasku.
Aku
berjalan gontai menyusuri koridor, tas yang tadi kutinggal di kelas bersama Ara
kini tersampir manis di pundakku.
Samar,
aku melihat siluet Jungwo Oppa tengah
bersandar di depan pintu kelasnya yang selalu aku lewati saat berangkat dan
pulang sekolah. Suasana sekolah memang mulai sepi karena murid-murid sudah
pulang sejak bel berbunyi tadi. Apa Jungwo Oppa
sengaja menungguku? Ah, tidak. Tidak mungkin seperti itu.
Tapi
boleh, kan, aku berharap? Jungwo Oppa,
seseorang yang sudah mengisi relung hatiku sejak aku melihatnya pertama kali
ketika memasuki sekolah ini. Senyum mautnya yang indah benar-benar mengalihkan
perhatianku dari semuanya. Dan sejak itu pula Jungwo Oppa menjadi idola nomor satu di hatiku. Apa mungkin lebih, ya?
Karena hampir setiap malam aku memikirkannya.
Aku
menekap pipiku yang tiba-tiba memanas. Baru saja hendak melangkahkan kakiku
menghampiri Jungwo Oppa, aku merasa
harus bersembunyi di balik pilar di tengah-tengah koridor yang memisahkan
antara koridor satu dan koridor lainnya. Aku tidak bermaksud menguping tapi
pembicaraan itu benar-benar tertangkap jelas di telingaku. Apalagi posisiku
yang tidak begitu jauh dari mereka, ya mereka.
Karena
seorang gadis tiba-tiba keluar dari dalam kelas Jungwo Oppa dan menghampirinya.
“Sudah?”
aku mendengar suara Jungwo Oppa yang
seperti biasa. Lembut.
“Sudah.”
Kali ini gadis itu yang menjawab. Perasaanku berdebar tidak karuan. Salahkah
aku seperti ini? Apa seharusnya aku pergi saja? Tapi aku penasaran! Suara
hatiku satu per satu menyuarakan suaranya. Membuatku bimbang.
“Jang
Hara bisakah kau pertimbangkan lagi?”
“Aku
sudah bilang bukan kemarin? Tidak. Dan tetap tidak. Mianhae.”
Oh,
sial! Sekarang aku malah semakin ingin tahu. Oke, aku putuskan untuk tetap
berdiri di tempatku sekarang.
“Tapi
aku benar-benar mencintaimu. Aku tidak peduli bagaimana masa lalumu. Yang aku
inginkan hanya kau.”
“Aku
tidak pantas untukmu. Lupakan aku. Dan kumohon, mulai sekarang jangan lagi
menungguiku hingga pulang seperti sekarang. Jebal…,”
suara gadis itu setengah memohon.
Aku
menekan dadaku yang tiba-tiba terasa sakit. Jungwo Oppa mencintai gadis itu? Jang Hara? Apakah aku tidak salah dengar?
Mataku serasa berembun, aku tahu cepat atau lambat aku akan tahu semuanya. Aku
baru mengenal Jungwo Oppa selama satu
bulan. Itu pun tidak setiap hari bertemu.
“Tapi…,”
sayup-sayup kudengar suara Jungwo Oppa
mencoba meyakinkan Jang Hara. Aku sudah tidak berminat menguping juga ingin
tahu hingga selesai. Pembukanya saja sudah menjelaskan semuanya. Aku melangkahkan
kakiku gontai ke kelas. Tempat pelarian, karena aku masih belum bisa keluar
dari sekolah.
“Apa
aku tidak salah lihat? Yang barusan itu? Apa kau menangis?” sebuah suara yang
familiar di telingaku membuatku menghentikan langkah. Aku merasa salah dengar.
Tapi tadi itu benar-benar nyata. Jinsan?
“Benar,
kan?” sebuah daun pintu kelas yang harus kulewati tiba-tiba bergerak. Aku masih
menatap tidak mengerti hingga akhirnya sosok Jinsan muncul dengan senyum nakal tersungging
di bibirnya.
“Kau?
Yaa! Selain suka mengerjaiku kau juga
STALKER HAH?!!” teriakku kelepasan. Tanganku terkepal kuat. Jinsan hanya
memandangiku santai, menyandarkan punggungnya ke tembok dan melipat kedua
tangannya di depan dada dengan gaya pongah.
Cih,
aku bahkan bisa melihat tatapan mengejeknya dari sinar matanya yang licik itu.
Aku mengelap wajahku sembarangan. Enak saja dia bilang menangis. Aku hanya
sedikit sedih tapi tidak sampai menangis.
“Tidak
perlu disembunyikan.”
Aku
menatap Jinsan geram. Jika dia berani berdiri di hadapanku sekarang, bisa
kupastikan satu tanganku pasti sudah melayang mencakar wajahnya itu.
“Aku
tidak menangis!”
“Yang
benar?”
“YAA!!!” aku berteriak marah, Jinsan
sampai menutup telinganya. Peduli apa?
“Ya! Kau itu hobi menjerit dan menangis?
Apalagi hobimu yang lain? Tidak ada yang lebih baguskah?”Jinsan masih sibuk
mengomentari kebiasaan baruku yang tercipta juga karena dia. Bukankah aku
senang menjerit dan berteriak karena dibuat kesal olehnya?
Kali
ini aku tidak tahan untuk tidak mendampratnya. Secara langsung mungkin lebih
baik. Titik kekesalanku sudah mencapai puncak. Aku melesat ke arahnya dan
berusaha meraihnya agar bisa memukulnya sekuat tenagaku.
Alih-alih
menyingkir, Jinsan hanya diam tidak bergerak. Membiarkan tanganku yang
membabi-buta menyerangnya, memukulnya bertubi-tubi. Setelah lelah, aku hanya
bisa menatapnya sesengit yang aku bisa. Tapi, Jinsan malah menatapku lembut.
“Apa?”
dampratku lagi. Aku tidak akan terpengaruh permainannya lagi. Sudah cukup.
Jinsan masih menatapku dengan tatapannya tadi. Tidak membalas perkataanku. Aku
pun melunak. Aku bersandar di tembok, tepat di sampingnya. Kurasakan nafasku
yang terengah-engah karena seranganku tadi benar-benar harus mengeluarkan
tenaga banyak.
Di
sisi lain, hatiku lega. Beban yang tadi serasa begitu berat kini sedikit
menguap entah kemana.
Beberapa
lamanya aku meratapi kesedihanku. Baru pertama aku merasa menyukai seseorang.
Apakah sebegini menyakitkan? Apa cinta itu memang selalu menorehkan luka?
“Sudah
selesai?” pertanyaan Jinsan menyadarkanku. Aku menoleh kaget.
“Hah?”
aku memandangnya tidak mengerti. Jinsan menunjuk ke dadanya. Baju sekolahnya sedikit
terkoyak. Mataku melebar Sejenak aku
melupakan pemikiranku tadi.
“Siapa
yang melakukannya? Kejam sekali?” mulutku berkata begitu saja
Jinsan
terkekeh. “Wah baru tadi sekarang sudah lupa.” Aku tersadar, mendadak aku
merasa sangat bersalah. Jinsan semakin terlihat geli. Keningku berkerut. Oh,
jangan merasa bersalah. Justru tadi aku sudah melakukan hal yang bagus sekali!
Aku tertawa bahagia membuat senyum di wajah Jinsan lenyap. Tatapannya berubah
garang. “Apa yang kau tertawakan?! Kau sudah merusak baju sekolah yaa yeoja
babbo!”
Aih,
apa barusan yang dia katakan? Yeoja babbo?
Sial, memang ternyata tadi dia hanya berpura-pura. Tapi, aku tidak akan semudah
itu masuk ke dalam perangkap busuknya.
“Kau
yang bodoh! Sudah pergi sana!” usirku ketus.
“Kau
harus membayar yang telah kau lakukan tadi, Shin Yuri.” Jinsan menarik sudut
bibirnya hingga membentuk senyum lalu berlalu dari hadapanku. Aku mengikuti
langkahnya. Sesekali dia menengok. Pasti hanya memastikan agar aku tidak
mengikutinya. GR sekali dia kalau begitu.
“Gomawo, Jinsan-ya,” gumamku tanpa sadar, sedikit banyak aku memang harus
berterimakasih padanya. Jika tidak aku tidak tahu apa jadinya tanganku ini jika
aku harus memukuli tembok.
bersambung~