Sabtu, 26 Oktober 2013

TWIN OF LOVE

Diposting oleh Koreandonesy di 07.42 0 komentar
“Kyaaaa!!” teriakan melengking yang berasal dari aku sendiri –yang akhirnya membahana ke seluruh taman sekolah, aku  menutup wajahku rapat-rapat. Berusaha menyingkir sejauh mungkin dari benda menjijikkan yang dilemparkan ke arahku barusan. Melihat bentuknya saja aku sudah bisa menebak meskipun dari jauh. CICAK! Iyaks menjijikkan sekali! Aku benci sekali hewan menggelikan itu.
Sementara itu di sisi lain, sudut mataku menaangkap seorang anak laki-laki tengah tertawa terpingkal-pingkal. Berkali-kali ia memegang perutnya yang sakit karena tawanya. Setelah ia bisa mengontrol itu semua ia pun meloncat keluar dari tempat persembunyiannya dengan senyum jahil yang menempel di wajahnya tentunya.
“Hahahahaha!”
Aku Yuri, Shin Yuri akhirnya membuka kedua telapak tanganku yang menutupi hampir seluruh wajah. Aku bisa menebak semerah apa wajahku sekarang karena kesal. Sekali hentak kini aku sudah berada tepat di hadapan Jinsan yang masih sibuk menertawaiku. Apa yang lucu? Menurutku itu sama sekali tidak lucu. Bisa-bisanya cowok gila itu menertawaiku sampai sebegitunya.
“Yaaa babbo!” aku memekik setengah menjerit. Sekarang aku  sudah mengejar Jinsan yang berlari mendahuluiku karena mungkin tahu gerak-gerikku yang mencurigakan. Jinsan terus berlari sambil sesekali membalikkan badannya demi melihatku yang tertinggal jauh di belakang. Selama mengejarnya aku tahu aku tidak akan bisa mendahului anak laki-laki itu tapi entah kenapa aku  merasa tidak puas jika harus berdiam diri saja setelah diriku dikerjai habis-habisan olehnya!
“Lihat saja jika kena kau tidak akan kuampuni kau Park Jinsan!” geramku, membuat beberapa siswa-siswi sekolah SMA Cheongdam melihati kami berdua yang masih terus berkejaran. Aku tidak peduli lagi pada peluh yang kini mengalir deras di dahiku, juga poniku yang melambai-lambai tertiup angin. Aku yakin rambutku sudah sama berantakannya sekarang dengan perasaanku yang sama kacaunya. Cowok bodoh itu harus segera diberi pelajaran!
“Kau bodoh. Sudah tahu kau larinya tidak cepat. Kenapa masih terus mengejar?” teriak Jinsan tak kalah keras.
“Ah!” tiba-tiba kakiku terantuk batu yang mencuat dari dalam pasir. Sama sekali tidak memperhatikan sekitarku. Aku mengelus kakiku yang yang malang, merintih kecil karena rasanya sedikit perih. Dengan sebelah tangan aku membersihkan lukaku dengan rok. Tidak peduli rokku akan jadi kotor karenanya.  Dari jauh beberapa meter dihadapanku aku melihat Jinsan tengah memandangiku, wajahnya terlihat sedikit panic, kurasa.
Aku sempat mengira dia akan menolongku karena kulihat ia melangkahkan kakinya ke arahku, tapi ternyata memang cowok bodoh! Dia malah berbelok menuju koridor sekolah, sama sekali tidak melihatku!
Gwaenchana?” seru seseorang membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, mendapati sunbaeku kini tengah berlari-lari kecil menghampiriku. Wajahnya terlihat cemas dan khawatir. Tak terasa sudut bibirku terangkat sedikit. Jungwo Oppa.
Anni, gwaenchana, Oppa.” Aku mencoba tersenyum saat Jungwo membantuku berdiri, namja itu kini tengah mengamati lukaku yang tidak terlalu lebar. Jungwo lalu mendongak memandangku khawatir.
“Sakit kah?” tanyanya lembut. Aku merasa bulir-bulir es mencair di atas kepalaku. Sakit di kakiku pun entah kenapa menguap begitu saja.
Aku menggeleng masih tersenyum, “ini hanya sedikit luka. Nanti juga sembuh.”
“Baiklah, biar aku gendong saja bagaimana?” tawar Jungwo Oppa. Aku tersentak mendengar tawaran Jungwo Oppa lalu buru-buru menggeleng panik. “Tidak perlu, Oppa. Aku masih sanggup berjalan.” Aku menunduk, menutupi perasaanku yang membuncah. Aku takut jika Jungwo Oppa sampai melihat rona merah di wajahku. Aigooo! Aku norak sekali bukan. Setelah mengumpulkan keberanianku aku memberanikan diri menatap Jungwo Oppa yang tengah tersenyum padaku. Untuk kesekian kalinya aku merasa takjub dengan seulas senyum tampan itu. Ah, sudahlah. Buru-buru aku menunduk lagi.
“Jika kau tidak mau biar aku membantumu berjalan. Setelah ini kita obati lukamu agar tidak semakin parah.” Jungwo Oppa membantu memapahku, aku menurut saja selama itu tidak berlebihan. Selama perjalanan ke kelas aku bisa mencium aroma khas Jungwo Oppa yang sangat kusukai .

***

“Yak! Namja babbo! Tiada hari kau tanpa menggangguku!” aku memukul-mukul hasil karyaku yang baru selesai aku. Goresan wajah Jinsan yang tampak acak-acakan kini sukses menjadi sasak tinju bagi tanganku yang sudah gatal ingin menjambaknya. Aku benar-benar geram dengan kelakuan anak itu. Sejak tahun ajaran baru –yang  bahkan aku belum mengenalnya–  Jinsan senang sekali berulah.
Aku sampai berpikir salah apa diriku pada laki-laki itu hingga tidak bosan-bosan setiap hari membuat tenggorokanku kering karena menjerit-jerit. Keterlaluan!
Aku berkacak pinggang menatap cermin besar yang tergantung di kamarku. Menatap wajahku sendiri, menatap kerutan di keningku yang membuatku akhirnya sadar bahwa aku bisa saja menjadi gila jika terus-terusan meladeni keisengan Jinsan.
“Yuri-ya. Makan malam sudah siap,” aku mendengar teriakan Eomma dari bawah.
“Aku segera keluar.” Aku menjawab malas. Perutku sama sekali tidak merasa lapar. Tapi Eomma pasti marah-marah jika aku tidak makan masakan yang sudah susah payah dibuatkannya untukku. Sekali lagi akumenatap cermin sambil mengepalkan tangan.
“Lihat saja kau besok. Aku tidak akan tinggal diam sekarang,” aku menggumam tajam.
***
Ya, Park Jinsan! Kau tidak mengerjakan tugasmu lagi?” tegur Mrs. Lee. Kulihat Jinsan mengobrak-abrik tasnya berharap buku yang semalam dikerjakannya kini ada di dalam tasnya tersebut. Mrs. Lee menatap tajam. Satu buat penggaris rotan diketuk-ketukkannya di atas meja. Wajah Jinsan sudah pucat pasi, sementara dari seberang sini tempatku duduk aku tersenyum puas menatapnya. Baru kali ini aku melihatnya setakut itu. Biarlah Jinsan merasa tertekan itu sudah membuat aku sedikit bangga untuk sementara waktu.
Tiba-tiba Jinsan menelengkan kepala kearah mejaku yang masih tersenyum-senyum memperhatikannya.
“Ya Yuri-ya. Pasti ini perbuatanmu bukan?” tuduh Jinsan langsung tanpa aba-aba, lehernya bergerak cepat kearahku. Aku tersentak mendengar teriakan Jinsan yang ditujukan kepadanya. Tidak sempat mengelak aku pun membuat pembelaan.
“Enak saja. Kau jangan asal tuduh begitu!” teriakku keki. Jangan sampai Mrs. Lee tahu, jika tahu bisa-bisa hukumanku malah lebih berat dari Jinsan yang tidak mengerjakan tugas.
Jinsan berkacak pinggang dan melangkah ke mejaku, lalu tanpa aba-aba dia menggebrak mejaku sampai-sampai bukuku yang ada di atas meja terpental. Kurang ajar! Ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sombong itu, tapi kutahan demi melihat Mrs. Lee yang memperhatikan kami dari tempatnya berdiri.
“Ayo mengakulah. Hukumanmu bisa diperingan Yuri-ya..,” paksa Jinsan sambil tersenyum licik ke arahku.
Shirreo. Aku tidak mau mengaku, bukan aku yang melakukannya!” aku masih bertahan.
Jinsan menghela nafas panjang. “Lalu kenapa kau senyum-senyum seperti tadi saat melihatku dimarahi Mrs. Lee?” tanyanya masih belum puas.
Aku mengerucutkan bibir kesal. Menahan agar jangan sampai kelepasan bicara.
“Mungkin dia menyukaimu,” celetuk Ara.
“Hah?” Aku dan Jinsan sama-sama berteriak bersama lalu memandang masing-masing setelah itu baik aku dan Jinsan saling membuang muka. Tidak sudi! Batinku memberontak.
“Kau jangan asal bicara!” teriakku dan Jinsan kesal pada Ara –yang hamper bersamaan. Ara hanya mengedikkan bahunya tidak peduli.
“LALU?” suara Mrs. Lee kembali menggelegar memenuhi seisi kelas. Jinsan kembali ke tempat duduknya.
“Tidak ada Miss. Yuri tidak mau mengaku. Padahal aku yakin bahwa dia yang menyembunyikan bukuku!” Jinsan memandangku lagi. Mrs. Lee memukulkan penggaris yang dibawanya ke kepala Jinsan.
“Jangan menyalahkan orang seperti itu. Kau memang malas bukan? Jangan jadikan alasan. Sekarang berdiri di depan kelas!” perintah Mrs. Lee tidak mau dibantah. Jinsan menatap Mrs. Lee memohon.
“Cepat,” sekali lagi Mrs. Lee berkata dingin. Akhirnya Jinsan melangkah malas keluar kelas. Aku mendesah lega. Semuanya sudah berakhir. Bagaimana Jinsan bisa melakukannya setiap hari kepadaku jika rasanya saja membuat jantung seakan mau lepas dari rongganya?

***
“Huh!” sebuah tarikan terasa begitu kuat mencengkeram rambutku yang biasa kukuncir kuda. Aku memekik kesakitan. Ulah siapa lagi, sih?! Oh, bukan. Aku sudah tahu jawabannya. Kejadian tadi pagi pasti menuntut tumbal.
“Kau puas melihatku dimarahi seperti tadi?” todong Jinsan langsung.
“Kau masih bersikeras menuduhku Park Jinsan?” aku berusaha melepaskan cekalan tangan Jinsan dari rambutku yang semakin menguat. Tolong… ini sakit sekali! Jinsan benar-benar kurang ajar!
“Lalu? Kau mau mengaku? Sekarang pun jika kau mengaku kau tidak akan dihukum. Aku sudah cukup lelah berdiri satu jam pelajaran di depan kelas.” Jinsan masih kukuh pada intuisinya.
“Bukan urusanku!” aku melengos meninggalkan Jinsan setelah mati-matian melepaskan cekalan Jinsan yang tidak main-main. Kepalaku serasa berdenyut hebat karena ini baru pertama kali ada seseorang yang menarik rambutku dengan paksa.
“Kau tidak mau bertanggung jawab? Baiklah jika kau yang minta! Aku akan lakukan.”
Aku terpaksa membalikkan badanku lagi demi meladeninya. “Aku sudah tidak takut denganmu. Berhenti mengancam seperti itu anak kecil!” teriakku lalu menjulurkan lidah sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan Jinsan.

***

Siang ini aku sedang mengunyah roti buatan Eomma dengan cepat. Hari ini kelas pulang pagi jadi tidak ada salahnya memakan bekal lebih awal.
“Yuri-ya, kau dipanggil Mrs. Lee keruang guru.” Ara mendatangi Yuri buru-buru. Aku merasa kesulitan menelan makananku mendengar nama Mrs. Lee tersebut.
“Apa?” tanyaku lagi berusaha biasa saja.
Kau- dipanggil- Mrs. Lee- ke- ruang- guru.” Ara sampai mengeja. Melihat perubahan pada wajahku yang mungkin terlihat seperti orang sekarat, Ara segera memberikan minum untukku. Aku melesat keluar kelas secepatnya sambil menelan makananku setelah sebelumnya memberikan roti yang sepotong belum habis pada Ara.
Gomawo Yuri-ya!” teriak Ara menatap roti yang kuberikan dengan mata berbinar.
***
Ya ampun, ya ampun. Nyaris saja aku mati berdiri ketika masuk ruang guru tadi. Aku pikir aksiku tadi pagi mengerjai Jinsan ketahuan, ternyata Mrs. Lee hanya menyuruhku menulis di papan tulis kelas tentang pergantian jadwal piket mulai minggu depan. Dikarenakan Mrs. Lee besok absen dua hari, jadi aku sebagai sekretaris kelas diberi tugas memberitahu semua teman-teman satu kelasku.
Aku berjalan gontai menyusuri koridor, tas yang tadi kutinggal di kelas bersama Ara kini tersampir manis di pundakku.
Samar, aku melihat siluet Jungwo Oppa tengah bersandar di depan pintu kelasnya yang selalu aku lewati saat berangkat dan pulang sekolah. Suasana sekolah memang mulai sepi karena murid-murid sudah pulang sejak bel berbunyi tadi. Apa Jungwo Oppa sengaja menungguku? Ah, tidak. Tidak mungkin seperti itu.
Tapi boleh, kan, aku berharap? Jungwo Oppa, seseorang yang sudah mengisi relung hatiku sejak aku melihatnya pertama kali ketika memasuki sekolah ini. Senyum mautnya yang indah benar-benar mengalihkan perhatianku dari semuanya. Dan sejak itu pula Jungwo Oppa menjadi idola nomor satu di hatiku. Apa mungkin lebih, ya? Karena hampir setiap malam aku memikirkannya.
Aku menekap pipiku yang tiba-tiba memanas. Baru saja hendak melangkahkan kakiku menghampiri Jungwo Oppa, aku merasa harus bersembunyi di balik pilar di tengah-tengah koridor yang memisahkan antara koridor satu dan koridor lainnya. Aku tidak bermaksud menguping tapi pembicaraan itu benar-benar tertangkap jelas di telingaku. Apalagi posisiku yang tidak begitu jauh dari mereka, ya mereka.
Karena seorang gadis tiba-tiba keluar dari dalam kelas Jungwo Oppa dan menghampirinya.
“Sudah?” aku mendengar suara Jungwo Oppa yang seperti biasa. Lembut.
“Sudah.” Kali ini gadis itu yang menjawab. Perasaanku berdebar tidak karuan. Salahkah aku seperti ini? Apa seharusnya aku pergi saja? Tapi aku penasaran! Suara hatiku satu per satu menyuarakan suaranya. Membuatku bimbang.
“Jang Hara bisakah kau pertimbangkan lagi?”
“Aku sudah bilang bukan kemarin? Tidak. Dan tetap tidak. Mianhae.”
Oh, sial! Sekarang aku malah semakin ingin tahu. Oke, aku putuskan untuk tetap berdiri di tempatku sekarang.
“Tapi aku benar-benar mencintaimu. Aku tidak peduli bagaimana masa lalumu. Yang aku inginkan hanya kau.”
“Aku tidak pantas untukmu. Lupakan aku. Dan kumohon, mulai sekarang jangan lagi menungguiku hingga pulang seperti sekarang. Jebal…,” suara gadis itu setengah memohon.
Aku menekan dadaku yang tiba-tiba terasa sakit. Jungwo Oppa mencintai gadis itu? Jang Hara? Apakah aku tidak salah dengar? Mataku serasa berembun, aku tahu cepat atau lambat aku akan tahu semuanya. Aku baru mengenal Jungwo Oppa selama satu bulan. Itu pun tidak setiap hari bertemu.
“Tapi…,” sayup-sayup kudengar suara Jungwo Oppa mencoba meyakinkan Jang Hara. Aku sudah tidak berminat menguping juga ingin tahu hingga selesai. Pembukanya saja sudah menjelaskan semuanya. Aku melangkahkan kakiku gontai ke kelas. Tempat pelarian, karena aku masih belum bisa keluar dari sekolah.
“Apa aku tidak salah lihat? Yang barusan itu? Apa kau menangis?” sebuah suara yang familiar di telingaku membuatku menghentikan langkah. Aku merasa salah dengar. Tapi tadi itu benar-benar nyata. Jinsan?
“Benar, kan?” sebuah daun pintu kelas yang harus kulewati tiba-tiba bergerak. Aku masih menatap tidak mengerti hingga akhirnya sosok Jinsan muncul dengan senyum nakal tersungging di bibirnya.
“Kau? Yaa! Selain suka mengerjaiku kau juga STALKER HAH?!!” teriakku kelepasan. Tanganku terkepal kuat. Jinsan hanya memandangiku santai, menyandarkan punggungnya ke tembok dan melipat kedua tangannya di depan dada dengan gaya pongah.
Cih, aku bahkan bisa melihat tatapan mengejeknya dari sinar matanya yang licik itu. Aku mengelap wajahku sembarangan. Enak saja dia bilang menangis. Aku hanya sedikit sedih tapi tidak sampai menangis.
“Tidak perlu disembunyikan.”
Aku menatap Jinsan geram. Jika dia berani berdiri di hadapanku sekarang, bisa kupastikan satu tanganku pasti sudah melayang mencakar wajahnya itu.
“Aku tidak menangis!”
“Yang benar?”
YAA!!!” aku berteriak marah, Jinsan sampai menutup telinganya. Peduli apa?
Ya! Kau itu hobi menjerit dan menangis? Apalagi hobimu yang lain? Tidak ada yang lebih baguskah?”Jinsan masih sibuk mengomentari kebiasaan baruku yang tercipta juga karena dia. Bukankah aku senang menjerit dan berteriak karena dibuat kesal olehnya?
Kali ini aku tidak tahan untuk tidak mendampratnya. Secara langsung mungkin lebih baik. Titik kekesalanku sudah mencapai puncak. Aku melesat ke arahnya dan berusaha meraihnya agar bisa memukulnya sekuat tenagaku.
Alih-alih menyingkir, Jinsan hanya diam tidak bergerak. Membiarkan tanganku yang membabi-buta menyerangnya, memukulnya bertubi-tubi. Setelah lelah, aku hanya bisa menatapnya sesengit yang aku bisa. Tapi, Jinsan malah menatapku lembut.
“Apa?” dampratku lagi. Aku tidak akan terpengaruh permainannya lagi. Sudah cukup. Jinsan masih menatapku dengan tatapannya tadi. Tidak membalas perkataanku. Aku pun melunak. Aku bersandar di tembok, tepat di sampingnya. Kurasakan nafasku yang terengah-engah karena seranganku tadi benar-benar harus mengeluarkan tenaga banyak.
Di sisi lain, hatiku lega. Beban yang tadi serasa begitu berat kini sedikit menguap entah kemana.
Beberapa lamanya aku meratapi kesedihanku. Baru pertama aku merasa menyukai seseorang. Apakah sebegini menyakitkan? Apa cinta itu memang selalu menorehkan luka?
“Sudah selesai?” pertanyaan Jinsan menyadarkanku. Aku menoleh kaget.
“Hah?” aku memandangnya tidak mengerti. Jinsan menunjuk ke dadanya. Baju sekolahnya sedikit terkoyak. Mataku melebar  Sejenak aku melupakan pemikiranku tadi.
“Siapa yang melakukannya? Kejam sekali?” mulutku berkata begitu saja
Jinsan terkekeh. “Wah baru tadi sekarang sudah lupa.” Aku tersadar, mendadak aku merasa sangat bersalah. Jinsan semakin terlihat geli. Keningku berkerut. Oh, jangan merasa bersalah. Justru tadi aku sudah melakukan hal yang bagus sekali! Aku tertawa bahagia membuat senyum di wajah Jinsan lenyap. Tatapannya berubah garang. “Apa yang kau tertawakan?! Kau sudah merusak baju sekolah yaa yeoja babbo!”
Aih, apa barusan yang dia katakan? Yeoja babbo? Sial, memang ternyata tadi dia hanya berpura-pura. Tapi, aku tidak akan semudah itu masuk ke dalam perangkap busuknya.
“Kau yang bodoh! Sudah pergi sana!” usirku ketus.
“Kau harus membayar yang telah kau lakukan tadi, Shin Yuri.” Jinsan menarik sudut bibirnya hingga membentuk senyum lalu berlalu dari hadapanku. Aku mengikuti langkahnya. Sesekali dia menengok. Pasti hanya memastikan agar aku tidak mengikutinya. GR sekali dia kalau begitu.
Gomawo, Jinsan-ya,” gumamku tanpa sadar, sedikit banyak aku memang harus berterimakasih padanya. Jika tidak aku tidak tahu apa jadinya tanganku ini jika aku harus memukuli tembok.

                                                                                                 
                                                       bersambung~
 

to my imajination Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting